Kamis, 12 Desember 2013

Cerpen pengalaman pribadi

SAHABAT ADALAH SEGALANYA
“Sahabat adalah dia yang tau kekuranganmu, namun menunjukkan kelebihanmu. Sahabat adalah dia yang tau tentang ketakutanmu, namu ia menunjukan keberanianmu”
******
Mempunyai sahabat memang menyenangkan. Setiap hari selalu bersama sambil menceritakan banyak hal yang dialami. Kadang bercerita tentang sesuatu hal yang menyedihkan, tapi terkadang juga menceritakan hal yang menyenangkan hingga membuat kami tertawa bersama. Seperti itulah hubungan persahabatan yang telah kami jalin dalam beberapa tahun ini.
            Namaku Fildza Hasnamudhia, biasa di panggil ody atau audy. Saat ini usiaku baru menginjak 14 tahun dan duduk di bangku kelas 3 SMP. Tak ada yang istimewa dariku. Aku hanyalah gadis biasa, yang tidak terlalu pintar, dan
            Tiga tahun lalu aku bertemu dengan 3 orang gadis yang seumuran denganku. tepatnya pada saat upacara penerimaan murid tahun ajaran baru di SMP tempatku bersekolah saat ini.  Bella, Salsha, dan Cassie. Itulah nama ketiga gadis itu dan sekarang mereka telah menjadi sahabatku. Aku juga mempunyai 7 orang sahabat yang berteman denganku dari SD, dan 1 orang sahabat yang berteman denganku dari TK , yaitu Zulfa. Jadi, sekarang kami bersahabat menjadi 11 orang. memang sangat banyak, tetapi mereka sangat menyenangkan.  Sejak berteman dengan mereka hidupku berubah menjadi lebih baik dan menyenangkan.
******
            Hari ini masih sama seperti biasanya. Di bawah langit yang cerah, kami berkumpul di sini, membuat lingkaran seperti biasannya. Di pinggir lapangan sekolah dekat kelas kami. Sebelum bel masuk berbunyi , kami memang sering bercerita di tempat ini. Tempat ini memang hanya sebuah lapangan sekolah yang sangat ramai dengan para siswa yang baru datang ke sekolah dan mondar-mandir untuk menunggu bel masuk dibunyikan. Namun, kami selalu merasa kalau tempat ini sangat nyaman. Yaah kecuali saat panas atau hujan kita akan langsung mencari tempat untuk berteduh. Biasanya yang kami lakukan di sini hanya bermain bersama sambil menceritakan banyak hal yang telah kami alami dan kami ketahui.
“Oh, ya. Bukannya satu minggu lagi kita Ujian Tengah Semester, ya?” tanya Bella memastikan.
“Hm… kurasa itu akan menjadi saat-saat yang menyiksa bagi otakku yang pelupa ini,” gumam Shanin sambil memukul-mukul kepalaku pelan.
“Tenang saja! Kan, di setiap nomor ada pilihan jawaban. Tinggal pilih saja salah satunya. Kalau beruntung mungkin hasilnya akan memuaskan,” ujar Cassie santai sambil tertawa.
“Iya, kalau beruntung. Kalau nggak beruntung, kan nanti nilainya jelek,” sahut Salsha sambil melirik Cassie dengan tertawa. Sementara Salsha tak menjawab dan terus tertawa.
“Eh, tadi malam aku mimpi buruk,” kata Tival secara tiba-tiba, sehingga membuat pandangan kami langsung tertuju padanya.
“Mimpi apa?” tanya kami kompak.
“Tapi jangan marah, ya? Soalnya mimpiku benar-benar buruk,” jawab Tival dengan wajah yang tampak ragu.
“Udah, cerita aja!” kata Steffi tak sabar. Sepertinya ia benar-benar merasa penasaran dengan mimpi yang dialami Tival.
“Semalam aku mimpi kalau kita gak lulus UN” kata Tival dengan pelan
“Jangan gitu donk, aku takut ntar benar-benar terjadi” ucap Salsha
“Udah gak usah dipikirin. mudah-mudahkan gak, itu kan hanya mimpi.” Ucapku sambil menenangkan mereka
“Iya , itu kan hanya mimpi. Gak usah terlalu dipikirin, yang penting kita belajar dan berdoa” kata Zulfa
“Yaudah yuk masuk kelas, udah bel tuh” kata Tival.
Setelah beberapa jam belajar, akhirnya bel pulang berbunyi bertanda jam pelajaran telah usai. sebelum pulang kami yang muslim diwajibkan untuk sholat zuhur berjamaah di masjid dekat sekolah. Setelah selesai sholat kami beranjak pulang kerumah. Cuaca yang panas tidak menyurutkan kami dan para siswa lain untuk pulang kerumah.
Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya taksi langganan kami datang. Kami cepat-cepat masuk ke dalam taksi sebelum tidak mendapat tempat duduk, yang tidak mendapat tempat duduk akan duduk di bawah dan siap-siap roknya panas.
“Sebentar sore ke rumahku yuuk” kata Zulfa
“Ngapain?” tanya Cassie
“Bermain atau ngapain kek, aku bosan sendiri di rumah” jawab Zulfa
“Yaudah, aku Insya Allah yaa” kataku
“Oke , di rumahku jam setengah 4 yaa” ucap Zulfa
“Sipp” jawab kami serentak
*****

            Setelah sampai dirumah, aku cepat-cepat ganti baju dan segera makan siang. Sehabis makan siang aku tidur sebentar sebelum ke rumah Zulfa.
            Sebelum ke rumah Zulfa , aku minta izin sama mama aku . Mamaku sih izinin aku keluar-keluar asalkan hanya dirumah saja dan tidak keluyuran kemana-mana
*****
“Yang lain mana?” tanyaku
“Belum datang, taulah mereka jam karet haha” jawab Zulfa
“Iya nih, kan udah di bilang datang jam setengah 4, palingan mereka datang jam 4” kata aku
“Yaudah nunggu di kamar yuuk , panas nih” kata Zulfa
            Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya mereka datang satu per satu
“Beli es krim yuk di kios sebelah” ucap Tival
“Yuk udah. aku mau beli minuman juga, udah haus banget nih” kata Steffi
            Memang setiap kumpul-kumpul kami selalu membeli es krim. Tival tuh yang paling doyan sama es krim. Yang lain hanya beli satu es krim , dia malah beli dua es krim. Di antara kami semua, Tival yang paling besar dan tinggi, tetapi dia yang paling penakut tentang hal-hal mistis.
*****
            Seperti biasa, sebelum bel masuk kami selalu duduk di pinggir lapangan sambil membentuk lingkaran. Tetapi, sekarang kami sedang belajar bersama untuk persiapan UAS, sambil bercerita sih. Walaupun niatnya untuk belajar , pasti bukan hanya belajar tetapi sambil bercerita. Itulah kami. Hal yang paling menyenangkan adalah dimana saat kami semua berkumpul sambil tertawa bersama-sama.
            Kata guru-guru kami UN bulan April. Sebenarnya takut sih kalau aku tidak lulus. Maka dari itu setiap malam aku belajar dengan giat agar bias dapat nilai yang memuaskan.
            Kami telah merencanakan mau masuk SMA dimana. Kebanyakan sih mau masuk SMA di luar kota, nanti kalau tidak lulus baru masuk SMA di sini. Ada juga yang tidak mendaftar SMA diluar kota karena belum di kasih orangtua untuk sekolah di luar kota. Aku Insya Allah mau masuk SMA 17 Makassar, yaa itu pun kalau lulus. Yang lain ada yang mau masuk di Surabaya, Kalimantan, atau Palu.
Sedih sih karena sudah mau pisah dari mereka. Maunya satu sekolah bareng lagi. Maunya SMP terus, tapi kan gak mungkin. Masa yang lain udah SMA kita masih SMP.
Kami mempunyai janji, kalau sudah SMA nanti kami akan tetap berkomunikasi walaupun jauh, kalau ada waktu kami akan kumpul-kumpul, dan tidak akan melupakan satu sama lain.

“Senyuman seorang sahabat hanya akan terlihat jika kamu tersentum dan mendapat kebahagiaan”

****SELESAI****

Senin, 18 November 2013

Dunia Kecil di Belakang Rumah

Bukan pemberian apa-apa sebenarnya. Sepasang baju dari bahan katun bercorak norak tabrak warna tentu bukan hal yang patut dibanggakan. Apalagi sebagai special gift. Tapi anak cekig itu melonjak kegirangan bukan kepalang tanggung seperti menang undian. Dipeluknya sertamerta tubuh lampai Helen dengan sekali rengkuh. Menggelayut di lehernya yang jenjang. Mencium pipinya berkali-kali.
          Sebulan sudah diakrabinya bocah perempuan jalan sepuluh itu. Ini pengalaman baru persahabatannya dengan gadis cilik pemulung kardus di perkampungan kumuh belakang rumah istananya.
          Tentu saja tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya. Juga sebasung karyawan rumah yang setiap hari berlagak seperti prajurit istana. Yang mendapat amanat menjagainya siang-malam agar tidak keluyuran di luar rumah. Bukan untuk apa-apa. Terlalu riskan membiarkan Helen Cherry Hidayat tanpa pengawalan. Sejumlah media elektronik gencar menayangkan berita kriminal bikin hati bergidik. Salah satunya adalah maraknya penculikan anak. Hal itu menggamangkan sepasang pengusaha garmen kaya, Tuan Hidayat Razak dan Nyonya Tinneke Warouw, sehingga mengambil keputusan yang agak berlebihan. Memasung putrinya dalam tirani pranata.
          Menginjak enam belas usianya, dia memang masih dianggap kanak-kanak. Banyak hal yang belum boleh dilakukannya sebagai eksistensi kemandirian. Berangkat dan pulang sekolah saja mesti dijemput supir khusus. Jadi kebebasan ala reformasi memang belum pantas untuknya.
          Maka ketika dia mulai menyadari kekangan yang tidak sehat itu, dia pun mengajukan banding dalam bentuk protes. Sayang kasasinya ditolak. Amar keputusan tetap menegaskan bahwa dia harus anteng di rumah. Menjalani rutinitas sebagai putri tunggal yang manis. Toh tidak ada sesuatu yang kurang dalam setiap daftar permintaannya. Apa-apa juga ada, kok!
          "Baju ini...."
          "Baju itu untukmu, Zul!"
          "Tapi...."
          "Titik!"
          Helen meletakkan telunjuknya persis di tengah pelepah bibir gadis cilik dekil itu. Gadis cilik itu melepaskan pelukannya. Sepasang matanya masih membola.
          "Tapi, Kak...."
          "Hop dengan tapi-tapianmu itu, Zul! Pokoknya, baju itu harus kamu terima.”      Jangan pikir Kak Helen mau memulangkan kembali baju-baju itu ke mal karena kamu tolak." 
          "Terima kasih, Kak Helen!"
          Helen mengangguk.
          "Tapi, apakah Papa-Mama Kak Helen tidak marah?"
          "Baju itu tidak berarti buat mereka. Jadi untuk apa marah?"
          "Tapi, Pak Nurdin...."
          Helen menghela napas. Nama yang dimaksud oleh gadis cilik itu pasti kepala satpam depan gerbang. Selama ini lelaki berkumis tebal itulah yang selalu menggebah keinginan kabur sesaatnya dari rumah. Hei, lelaki itu seperti punya bakat menjadi sekuriti profesional. Padahal, bukan sekali-dua dia mengatur siasat rapi untuk melarikan diri. Pakai segala cara yang dilatahnya dari Charlie Angels-nya Cameron Diaz-Drew Barrymore-Lucy Liu!
          "Nurdin sok galak. Tapi, jangan kuatir. Dia sudah Kak Helen jinakkan!"
          "Hihihi. Memangnya herder ya, Kak?"
          "Iya. Dia lebih galak dari herder."
          Gadis cilik itu kembali terkikik. Gigi susunya yang ompong sebiji tampak lucu di mata Helen. Heran. Ada keceriaan yang menyertai kesehariannya kini. Tidak seperti kalau di rumah. Bete. Meski dibanjiri fasilitas permainan, tapi rasanya selalu saja ada yang kurang. Sejak kehadiran Siti Zulaikha dalam hari-harinya yang panjang dan melelahkan, dia seperti kembali menemukan dunianya yang hilang.
          Sejak kematian Oma Selena, orangtua perempuan dari pihak Mamanya itu, keceriaan masa kanak-kanaknya seperti tersaput kabut. Dia tidak punya teman bermain lagi. Kedua orangtuanya terlalu sibuk dengan urusan bisnis. Nyaris tidak ada waktu untuk putri tunggalnya tersebut. Kasih sayang yang sebenar-benarnya tidak pernah dirasakannya meski sederet fasilitas mewah mewakili kealpaan mereka.
          Pertemuannya dengan Siti Zulaikha memang seperti obat penawar renjana. Pertemanan itu memupus kegersangan kasih sayang yang tidak didapatinya secara sempurna dari Papa dan Mamanya. Siti Zulaikha hadir dalam hidupnya bukan sekadar teman. Namun lebih dari itu, dia merupakan sebuah anugerah dari langit!
          Mengajarinya banyak hal tentang kehidupan lain di luar dari dunianya yang hangat dan nyaman. Sisi suram pergulatan hidup sebagian manusia memang telah terpapar dari sosok gadis kecil sahabatnya itu.
          Dan dia memafhumi dunia lain itu.
***
          Helen masih ingat ikhwal perkenalannya dengan Siti Zulaikha. Kurang lebih sebulan lalu saat dia hendak berangkat ke sekolah, dia bertemu dengan gadis itu di muka gerbang rumah. Ketika itu dia tengah memulai rutinitas hariannya memulung pada pagi hari.
          "Untuk apa kardus-kardus bekas itu?"
          "Fungsinya banyak, Kak. Sebagian dijual, lalu sebagian lagi untuk bikin rumah."
          "Rumah-rumahan? Wah, asyik ya? Seperti jigzaw begitu...."
          "Bukan rumah-rumahan. Tapi, rumah. Rumah untuk tempat kami tinggal dan berteduh. Atapnya bisa dari seng tua atau plastik terpal bekas, dan dinding-dindingnya ya dari kardus-kardus ini."
          "Hah?!"
          "Kenapa Kakak heran?"
          "Jadi, kalian tinggal di rumah-rumahan...."
          "Rumah. Seperti di seberang kanal itu!"
          "Ja-jadi...."
          "Jadi kami sekeluarga tinggal berteduh di dalamnya. Tapi, rumah kardus tidak tahan lama. Tiap sebentar harus diganti kardus bekas yang baru. Kalau musim penghujan kardus-kardus akan benyek. Itu tidak seberapa dibandingkan kalau air kanal meluap banjir. Rumah kami bisa terseret. Untung kalau tidak menyeret kami sekalian."
          Keheranannya itu menerbitkan rasa ingin tahu. Tentang rumah-rumah kardus di seberang kanal, belakang perumahan megah rumahnya. Hari demi hari dia menyimak dengan takzim dunia yang tidak lazim baginya. Sama sekali tidak pernah membayangkan ada dunia kecil dengan ratusan bahkan ribuan penghuninya yang hidup di bawah garis kemiskinan.
          Tepat di belakang rumah istananya!
          Lalu diakrabinya gadis kecil itu sebagai bagian dari keingintahuannya. Ternyata banyak hal yang tidak diketahuinya sama sekali. Dia telah dibutakan oleh kungkungan tembok tinggi. Yang disibak dengan tirai baku sehingga mempolakan keseragaman yang indah semata di benaknya. Padahal, pada kenyataannya dunia ini tidak seindah apa yang dibayangkannya selama ini.
          "Kami tidak pernah tinggal menetap lama. Selalu berpindah-pindah tempat. Kena gusur di sana-sini. Zul capek, Kak!"
          Dari persahabatannya dengan gadis cilik itu pula dia dapat merasakan getirnya hidup kaum marjinal. Diam-diam dia bersyukur dengan kondisi keluarganya yang mapan sekarang.
***
          "Kak Helen kok mau berteman dengan Zul?"
          "Memangnya kenapa?"
          "Apa tidak risih jalan dengan Zul yang dekil begini?"
          "Kenapa harus risih? Memangnya orang dekil tidak boleh punya teman?"
          "Tapi, Zul sama sekali tidak punya apa-apa. Justru Zul yang jadi risih kalau begitu."
          "Persahabatan itu tidak ditakar dengan materi. Kamu jangan minderan begitu dong, Zul!"
          "Iya, sih. Tapi, Zul kan harus tahu diri."
          "Tahu diri untuk selalu mawas terhadap harga diri memang mesti. Kita kan sama-sama manusia. Jadi masing-masing punya nilai yang sama di mata Tuhan. Kalau orang lain mencibir persahabatan kita, ya biarkan saja. Memangnya Kak Helen pikirin?"
          "Tapi, Zul takut Papa dan Mama Kak Helen marah!"
          "Kalau tidak berbuat salah, kenapa harus takut?!"
          "Tapi...."
          "Zulaikha-Zulaikha! Kamu harus pede. Buat apa Kak Helen susah-susah mau mengajar Zul membaca kalau bukan untuk pintar? Kalau sudah pintar kan bisa jadi orang gedean. Seperti Papa dan Mama Kak Helen. Punya perusahaan sendiri."
          "Iya, sih. Tapi...."
          "Sudahlah. Tidak ada tapi-tapian. Sekarang, kamu tuh adik Kak Helen."
          "Ap-apa kata Kak Helen?!"
          "Kamu adik Kak Helen!"
          "Siti Zulaikha adalah adik Kak Helen?!"
          "He-eh."
          "Ja-jadi...."
          "Jadi kamu tuh tidak usah malu lagi jalan sama Kak Helen. Karena kamu adalah adik Kak Helen."
          Gadis cilik itu sertamerta memeluk tubuh jenjang Helen. Lalu menciumi pipinya berkali-kali seperti biasa. Tak terasa airmatanya menitik. Indah persahabatan dua anak manusia dari dua dunia yang berbeda memang adalah anugerah. * * *